Mengapa Era 'Customer Is King' Telah Berakhir

OPINIONINNOVATIONBUSINESSDIGITALCUSTOMER EXPERIENCE

Clint Perdana

1/27/20255 min read

Equality

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Di sebuah pusat layanan pelanggan (call center) sebuah perusahaan keuangan, muncul telepon dari nasabah yang berbicara dengan nada bossy:

“Halo, saya ingin menegosiasikan promo. Saya maunya bunga simpanan 10% sebulan, biaya transaksi nol, dan cashback setiap kali belanja. Bisa atur itu semua, kan? Bukankah Customer is King?”

Petugas layanan, sambil menekan headset lebih dalam ke telinganya, sempat tertegun lalu mengelus dada mencoba bersabar dan selalu profesional. Dialog ini mungkin terdengar dramatis, namun di lapangan, sering terjadi pelanggan yang menuntut perlakuan “istimewa” di luar batas kewajaran. Dari sinilah pertanyaan muncul: benarkah pelanggan satu-satunya “Raja”?

Menantang Paradigma Lama

Ungkapan Customer is King (Nasabah adalah Raja) telah lama menjadi slogan sakral di berbagai industri layanan, mulai dari perbankan, eCommerce, sektor hospitality atau bahkan sektor industri lainnya. Prinsip ini menekankan bahwa kepuasan pelanggan harus menjadi prioritas utama. Banyak perusahaan akhirnya memopulerkan ungkapan ini dalam strategi pemasaran untuk menegaskan bahwa mereka benar-benar mengutamakan konsumennya.

Namun, situasi di era digital berubah sangat cepat. Teknologi yang memfasilitasi segala kebutuhan pelanggan juga meningkatkan ekspektasi. Konsumen menuntut diskon besar, proses instan, layanan tanpa kesalahan, hingga biaya nol. Memenuhi semua tuntutan secara membabi buta dapat membuat perusahaan kewalahan, kehilangan efisiensi, dan bahkan merugikan pelanggan lain yang sebenarnya bersikap wajar.

Di tengah dinamika tersebut, muncul gagasan bahwa penyedia layanan sebaiknya bertindak sebagai “Raja yang Baik.” Menurut Grönroos (1994), pergeseran dari marketing mix ke relationship marketing menegaskan pentingnya hubungan jangka panjang antara perusahaan dan pelanggan. Dalam kerangka ini, perusahaan bukan sekadar “pelayan” yang selalu berkata “ya,” melainkan pemimpin yang mampu menilai dan memutuskan kebijakan terbaik bagi kelangsungan bisnis serta kepuasan pelanggan.

Mengapa Paradigma “Customer is King” Tidak Selalu Relevan

Ada beberapa alasan mengapa memosisikan pelanggan sebagai “Raja absolut” dapat berbahaya. Pertama, loyalitas pelanggan tidak semata ditentukan oleh pemenuhan semua permintaan. Oliver (1999) menjelaskan bahwa pengelolaan ekspektasi yang adil dan konsisten justru menjadi kunci terbentuknya loyalitas jangka panjang. Jika setiap permintaan dikabulkan tanpa saringan, perusahaan berisiko terjerumus dalam lingkaran tuntutan yang semakin tidak terkendali.

Kedua, kualitas layanan tidak serta-merta berarti selalu menuruti keinginan pelanggan. Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985) menekankan bahwa service quality ialah proses memenuhi atau melebihi harapan pelanggan, namun harapan itu sendiri perlu dikelola. Sebagai contoh, jika seorang nasabah menuntut bunga tabungan tinggi selayaknya deposito jangka panjang untuk jumlah dana yang belum dianggap prioritas serta hanya disimpan sebentar, perusahaan (atau dalam hal ini contohnya bank) perlu menolak dengan alasan operasional dan profitabilitas secara elegan.

Ketiga, jika perusahaan semata-mata fokus memanjakan pelanggan, mereka bisa kehilangan ruang berinovasi. Adakalanya inovasi lahir dari visi strategis yang melampaui permintaan konsumen terkini. Dalam beberapa kasus, konsumen belum menyadari kebutuhan yang lebih besar. Mengikuti setiap keinginan pelanggan tanpa filter bisa menutup pintu bagi terobosan baru yang sejatinya dibutuhkan pasar.

Paradigma Penyedia Layanan sebagai “Raja yang Baik”

Alih-alih menjadi “pelayan” yang pasif, perusahaan sukses di era digital mulai menerapkan konsep “Raja yang Baik.” Sebagai “raja,” perusahaan bertanggung jawab menentukan aturan main, mendengar keluhan, dan merumuskan solusi yang adil, tanpa harus mengorbankan keberlanjutan bisnis.

Kotler, Kartajaya, dan Setiawan (2017) menegaskan pentingnya data dan personalisasi di era digital (disebut juga Marketing 4.0). Dengan memanfaatkan data, perusahaan dapat lebih memahami kebutuhan pelanggan secara mendalam. Akan tetapi, “Raja yang Baik” tetap menjalankan visi strategis: menerima masukan tanpa menjadi “tunduk” sepenuhnya pada permintaan yang tidak masuk akal.

Prahalad dan Ramaswamy (2004) menggarisbawahi konsep co-creation, yakni pelibatan pelanggan dalam penciptaan nilai. Konsumen diundang memberikan masukan, sedangkan perusahaan mengolahnya agar tetap sejalan dengan tujuan bisnis. Di sinilah “Raja yang Baik” menyeimbangkan aspirasi konsumen dengan kepentingan perusahaan dan pemangku kepentingan lainnya.

Contoh Penerapan Menjaga Ekosistem Layanan

Di industri eCommerce, misalnya, perusahaan kerap menghadapi tuntutan refund tanpa syarat. “Raja yang Baik” akan menetapkan kebijakan pengembalian dana yang adil—memberikan rasa aman bagi pelanggan, namun tetap menghindari penyalahgunaan sistem. Jika aturan terlalu longgar, pelanggan “nakal” bisa mengembalikan barang sesuka hati, merugikan penjual dan perusahaan.

Di industri keuangan, nasabah sering mengharapkan bunga tabungan tinggi tanpa biaya administrasi. “Raja yang Baik” menjelaskan bahwa suku bunga mengikuti regulasi dan kondisi pasar. Dengan mengedukasi pelanggan akan realitas ini, perusahaan menjaga kepercayaan sekaligus operasional yang sehat. Ini juga berlaku pada industri hospitality, di mana tamu hotel terkadang menuntut layanan premium dengan harga sangat murah. Hotel yang bijaksana akan menyediakan berbagai package dan opsi layanan agar tamu merasa dihargai, namun tetap realistis dalam penetapan tarif.

Mengadopsi Konsep “Raja yang Baik” di Berbagai Industri

Gagasan ini tidak semata untuk perbankan atau eCommerce. Sektor transportasi daring (ride-hailing) juga mengaplikasikannya. Perusahaan dapat meminta masukan pengemudi dan penumpang untuk memperbaiki layanan, sambil mempertahankan kebijakan tarif yang adil bagi kedua pihak. Jika pelanggan menuntut tarif supermurah sepanjang waktu, driver berpotensi dirugikan dan layanan akhirnya menurun. Di sinilah “Raja yang Baik” menetapkan koridor yang melindungi keseimbangan antara kepuasan pelanggan dan kesejahteraan mitra pengemudi.

Untuk menerapkan konsep “Raja yang Baik” dalam operasional sehari-hari, perusahaan bisa memulai dengan:

  1. Pemetaan Keinginan dan Kebutuhan Pelanggan: Menggunakan survei, feedback loop, dan analitik data.

  2. Pembuatan Kebijakan yang Terukur: Mengakomodasi masukan pelanggan dalam batas yang wajar, sambil memastikan ketahanan finansial dan operasional.

  3. Edukasi dan Transparansi: Menjelaskan alasan di balik setiap kebijakan agar pelanggan memahami logikanya.

  4. Monitoring dan Evaluasi Berkala: Mengecek apakah aturan masih relevan dan apakah inovasi baru dibutuhkan.

Membangun Simbiosis Ideal antara “Raja” dan “Rakyat”

Ketika “Customer is King” diterapkan secara ekstrem, muncul “Raja yang Kejam”—pelanggan yang mengeksploitasi kelemahan sistem demi keuntungan pribadi. Dengan pendekatan “Raja yang Baik,” perusahaan menyiapkan mekanisme proteksi agar hal ini tak merugikan keseluruhan ekosistem. Penolakan yang disampaikan secara tepat dapat mendidik pelanggan agar lebih bijak.

Edukasi pelanggan sangat penting di sini. Saat pelanggan memahami mengapa biaya tertentu diberlakukan atau mengapa bunga tidak bisa melambung terlalu tinggi, mereka akan cenderung menerima aturan tanpa kecewa berlebihan. Transparansi kebijakan juga membangun kepercayaan, sehingga hubungan pelanggan dan perusahaan menjadi lebih sehat dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, kesuksesan konsep “Raja yang Baik” bergantung pada komunikasi terbuka. Perusahaan mengumpulkan dan menganalisis masukan, lalu menggunakannya sebagai dasar pembuatan keputusan. Pelanggan pun menyadari bahwa bukan semua keinginan akan dikabulkan, namun mereka mendapat ruang berpartisipasi dalam menciptakan layanan yang lebih baik.

Redefinisi “Customer is King”

Prinsip Customer is King (Nasabah adalah Raja) lahir untuk menekankan betapa pentingnya pelanggan. Namun, di era digital, perusahaan tidak lagi bisa hanya menjadi “pesuruh” pelanggan. Menurut Grönroos (1994), membangun relationship marketing berarti menciptakan relasi kolaboratif jangka panjang, bukan sekadar memenuhi tuntutan tanpa seleksi.

Mengadopsi konsep “Raja yang Baik” berarti perusahaan memimpin, berani berkata “tidak” jika tuntutan pelanggan merusak keseimbangan. Seperti yang dijabarkan Kotler, Kartajaya, dan Setiawan (2017), pemanfaatan data dan personalisasi sebaiknya dilakukan dalam kerangka visi bisnis. Sementara itu, co-creation (Prahalad & Ramaswamy, 2004) memungkinkan pelanggan turut menyumbang ide, namun keputusan final tetap di tangan penyedia layanan. Dengan cara ini, ekosistem layanan jadi lebih adil, inovatif, dan berkelanjutan.

Sudah siap meninggalkan paradigma lama dan beralih ke “Raja yang Baik”?
Mulailah dari kebijakan internal yang konsisten, edukasi pelanggan yang memadai, dan pemanfaatan data yang tepat sasaran. Ketika hal ini dipraktikkan dalam operasional sehari-hari, perusahaan dapat mempertahankan efisiensi sekaligus membangun loyalitas pelanggan jangka panjang. (clint perdana)

Note : untuk versi English dapat diakses di https://medium.com/@clint.perdana/why-the-era-of-customer-is-king-has-ended-fc31a5f3a931

Referensi

  • Grönroos, C. (1994). From Marketing Mix to Relationship Marketing: Towards a Paradigm Shift in Marketing. Management Decision, 32(2), 4–20.

  • Kotler, P., Kartajaya, H., & Setiawan, I. (2017). Marketing 4.0: Moving from Traditional to Digital. John Wiley & Sons.

  • Oliver, R. L. (1999). Whence Consumer Loyalty? Journal of Marketing, 63, 33–44.

  • Parasuraman, A., Zeithaml, V. A., & Berry, L. L. (1985). A Conceptual Model of Service Quality and Its Implications for Future Research. Journal of Marketing, 49(4), 41–50.

  • Prahalad, C. K., & Ramaswamy, V. (2004). Co-Creation Experiences: The Next Practice in Value Creation. Journal of Interactive Marketing, 18(3), 5–14.