Eksotisme Malam di Bawah Stasiun MRT Lebak Bulus

OPINIONCULTUREACTIVISM

Clint Perdana

12/3/20242 min read

Lebak Bulus MRT Night; Source : Personal

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Setiap kali langkahku membawaku melintasi sudut ini, aku merasa seolah sedang menjadi bagian dari sebuah lukisan urban yang penuh cerita.

Inilah Lebak Bulus, salah satu denyut nadi Jakarta yang terus berdetak bahkan ketika malam perlahan menelusup. Sebuah stasiun MRT menjulang di atas, menghubungkan mimpi dan ambisi ribuan manusia yang berkejaran dengan waktu. Aku sering berhenti sejenak, mencoba menangkap makna dari keramaian ini, sambil ditemani gemuruh kendaraan yang saling bersahut.

Ada aroma perjuangan di sini. Setiap orang seperti membawa cerita yang hanya mereka dan malam yang tahu. Pengemudi ojek online dengan jaket hijaunya bersandar lelah, matanya terus menatap layar ponsel, berharap nama penumpang berikutnya muncul.

Para pedagang kecil, dengan kios seadanya, menawarkan barang dagangan mulai dari kabel charger hingga makanan ringan, semuanya terlihat sederhana namun penuh semangat. Aku melihat mereka bukan sekadar menjual, tapi berjuang mempertahankan kehidupan.

Kadang aku berpikir, jalan ini adalah cermin. Cermin bagi kota ini dan bagi kita yang hidup di dalamnya. Keramaian yang terlihat kacau ini sebenarnya memiliki harmoni yang tak kasat mata. Klakson yang saling bersahutan, obrolan pedagang, dan deru kendaraan menciptakan sebuah simfoni. Suara-suara itu, meskipun bising, adalah pengingat bahwa kita masih hidup, masih berusaha.

Saat malam semakin larut, warna lampu-lampu kendaraan memantul di jalan basah sehabis hujan, menciptakan suasana magis yang sulit dijelaskan. Kadang aku merasa sedang berada di dalam film. Tapi ini bukan film—ini realitas. Aku adalah salah satu aktor dalam lakon ini, bersama ratusan, bahkan ribuan lainnya. Aku tidak tahu cerita mereka, tapi aku merasa kami semua terhubung dalam perjuangan ini.

Ada filosofi yang sering terlintas di benakku saat melewati tempat ini. MRT di atas adalah simbol harapan—sebuah perjalanan yang membawa orang-orang dari satu tempat ke tempat lain, dari satu mimpi ke mimpi yang baru. Sementara di bawahnya, adalah realitas. Tempat di mana kita semua menjejakkan kaki, berhadapan langsung dengan tantangan dan kesempatan. Harapan dan realitas ini, entah bagaimana, selalu berpadu dalam harmoni yang unik di sini.

Namun, aku juga sadar, keramaian ini adalah pengingat akan waktu yang terus berjalan. Setiap malam yang kulalui di sini adalah satu malam yang tak akan kembali. Kadang aku merasa kalah oleh waktu, tapi tempat ini mengingatkanku bahwa semua orang di sini juga berkejaran, mencoba memenangkan perlombaan yang sama. Ada kenyamanan dalam menyadari bahwa aku tidak sendirian.

Pada akhirnya, setiap kali aku melintasi tempat ini, aku menyadari bahwa Jakarta bukan hanya kota beton yang penuh sesak. Ia adalah kumpulan cerita, perjuangan, dan mimpi. Tempat ini, sudut kecil di Lebak Bulus, adalah salah satu bab dalam ceritaku. Meski lelah, ada semangat yang selalu muncul kembali, seperti lampu-lampu yang terus menyala di sepanjang jalan ini.

Begitulah Jakarta—riuh, penuh perjuangan, tapi selalu menghidupkan. Dan di bawah MRT Lebak Bulus ini, aku merasa tidak hanya sedang pulang, tapi sedang menemukan kembali diriku sendiri.

Di tengah hiruk-pikuknya, aku belajar bahwa hidup di ibu kota adalah tentang bertahan, bermimpi, dan menikmati perjalanan, satu malam dalam satu waktu. (clint)