Dari Nama Stasiun ke Legacy Brand, Kisah Marketing yang Tak Terlupakan
OPINIONCOMMUNICATIONBUSINESSCULTUREMARKETING


Ilustrasi pemilih di Pemilu; Source : DalBro
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sebuah short story dari si Andri, seorang pejuang nafkah di ibukota Jakarta berdiri di gerbong MRT Jakarta, tangan menggengam tiang besi, mata menjelajahi wajah-wajah penumpang. Ada yang mengantuk, sibuk scroll HP, atau tersenyum sendiri membaca pesan. 10 menit kemudian, pengumuman terdengar: “Stasiun berikutnya: Istora Mandiri.” Loh, kok ada tambahan “Mandiri”?
Rupanya, ini bukan sekadar nama lokasi—tapi strategi branding yang (mungkin) cerdas! Seperti menemukan jajan pasar di tengah mal mewah, fenomena nama stasiun MRT Jakarta ini unik sekaligus menggelitik. Mahal? Pasti! Tapi kenapa perusahaan rela nguras kantong? Ayo kita telusuri, sambil sesekali nyruput wedang jahe atau kopi tubruk pagi.
Narasi Pengalaman Komuter & Fenomena Branding
Sebagai komuter Ibukota yang menghabiskan 1 jam sehari (pulang-pergi) di MRT, awalnya Andri pikir nama stasiun panjang seperti Fatmawati Indomaret atau Cipete Raya Tuku cuma formalitas belaka. Tapi lama-lama, nama-nama itu nempel di kepala. Saat janjian meeting, otomatis terpikir: “Turun di Setiabudi Astra, lalu transit.” Tanpa sadar, brand tersebut menyusup ke dalam mental map kita.
Orang Jawa bilang, “Witing tresno jalaran soko kulino”, cinta tumbuh karena kebiasaan. Prinsip ini berlaku juga di dunia branding. Semakin sering kita mendengar nama brand di stasiun, semakin akrab ia di benak. Bukan cuma sekadar iklan, tapi jadi bagian dari keseharian.
Mengapa Brand Rela Bayar Mahal?
1. Visibilitas Tanpa Ampun
Bayangkan tiap hari ribuan pasang mata terpaksa melihat nama brand di papan stasiun, mendengarnya di pengumuman, atau mencarinya di peta digital. Ini seperti iklan yang tak bisa di-skip sehingga penumpang harus berinteraksi, mau tak mau. Marketing experts bilang, ini adalah touchpoint sempurna: interaksi intensif yang membangun kesadaran merek secara halus.
2. Emosi yang Melekat
Stasiun MRT bukan sekadar tempat transit. Di sini, orang merayakan pertemuan, merenung di kala lelah, atau terburu-buru mengejar janji. Ketika brand menjadi bagian dari momen-momen personal ini, mereka tak cuma diingat tapi dirindukan. “Nek aku janjian di Cipete Raya Tuku, ya nama Tuku itu bakal melekat di otak. Bisa jadi sampe nanti punya anak!” canda seorang teman.
Filosofi Jawa “Memayu hayuning bawana”—menjaga harmoni dunia—tercermin di sini. Brand yang “mengharmoniskan” diri dengan ruang publik bisa mencuri simpati tanpa terkesan memaksa.
Mahal Tapi Worth It?
Biaya sponsor stasiun MRT bisa mencapai puluhan miliar. Tapi bandingkan dengan iklan TV 15 detik atau billboard yang mudah terlewat. Nama di stasiun bisa bertahan 5-10 tahun, jika dihitung per hari, mungkin lebih murah dari segelas kopi!
Yang lebih ngetop: efek viral alami. Setiap kali nama stasiun disebut dalam obrolan “Nanti ketemuan di Fatmawati Indomaret ya!” brand dapat eksposur gratis. Media sosial pun jadi panggung promosi tambahan. Seperti dapat ribuan endorser sukarela!
Prestise: Bukan Cuma Nama, Tapi Warisan
Ini yang bikin strategi ini beda: membangun warisan. Bayangkan bertahun-tahun lagi, anak cucu bertanya, “Kenapa stasiun ini namanya Istora Mandiri?” Di situlah Mandiri tak hanya diingat sebagai bank, tapi sebagai bagian dari sejarah transportasi Jakarta. Sponsorship seperti ini setara dengan membangun patung atau monumen—simbol kehadiran yang abadi. Orang Jawa bilang, “Urip iku mung mampir ngombe”—hidup hanya sebentar. Tapi legacy bisa abadi.
Kritik Umum Tentang Apakah Ruang Publik “Dijual”?
Tak semua setuju. Sebagian merasa ruang publik dikomersilkan. Tapi, jika dana sponsor bisa menjaga tarif MRT terjangkau dan layanan tetap prima, ini bisa jadi win-win solution. “Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake” menang tanpa merendahkan. Selama tak mengganggu fungsi utama, kolaborasi kreatif patut dicoba.
Jadi lain kali jika Anda mendengar “Stasiun Lebak Bulus Grab”, coba amati sekeliling. Di balik nama itu, ada cerita tentang strategi marketing yang cerdas, ambisi brand membangun legacy, dan sedikit sihir psikologi. Mungkin di antara kerumunan penumpang yang sibuk, ada CEO yang tersenyum puas melihat namanya tertempel di dinding stasiun. Atau, siapa tahu, suatu saat kita akan terbiasa dengan kalimat: “Turun di Stasiun Monas Teh Botol, ya!”
Sampai saat itu tiba, mari nikmati perjalanan dan sapa saja brand-brand itu dalam hati: “Hey, I see what you did there.”.
What Next ..?
So, apakah strategi ini prestisius? Tentu!
Mampu nempeli nama di infrastruktur publik adalah kebanggaan tersendiri, seperti meninggalkan prasasti di tengah kota. Bagi kita yang numpang lewat, setidaknya ada cerita unik untuk diceritakan.
Siapa bilang perjalanan pulang-pergi kantor cuma soal lelah? Kadang, ia juga tentang pertunjukan branding paling kreatif yang panggungnya adalah keseharian kita.
Nggak percaya? Coba tanya MRT Jakarta! 🙏 (clint perdana)