Bagaimana Triple Layer Business Model Canvas Mengubah Cara Kita Melihat Bisnis
INNOVATIONBUSINESSEDUCATIONCOMMUNITY


Triple Layer BMC; Source : Personal Photo
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم
Sebuah kafe kecil di pinggir kota baru saja memulai aktivitas rutinnya pagi itu. Wangi biji kopi yang baru digiling menyapa siapa pun yang melangkah masuk, sementara Devan, pemiliknya, berkeliling untuk memeriksa stok susu dan menanyakan pendapat pelanggan tentang rasa cappuccino mereka.
Meskipun kafenya tidak terlalu besar, Devan memiliki cita-cita muluk. Dia berharap bisnisnya akan berkembang suatu hari nanti sekaligus memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat dan lingkungannya. Sayangnya, mewujudkan impian ini tidak semudah menekan tombol coffe maker.
Devan sering mendengar konsep Triple Layer Business Model Canvas (TLBMC) saat dia sibuk. Dia mengatakan bahwa gagasan ini dapat membantu para pelaku usaha melihat bisnis dari sudut pandang sosial dan lingkungan. Suatu sore ketika kafe mulai sepi, ia memutuskan untuk membaca artikel tentang TLBMC.
Hasilnya, Devan merasa terpukau dan cemas pada saat yang sama. Selain itu, idenya luar biasa! Gumamnya, "Tapi, apa mungkin kafe sekecil ini menerapkannya?" Ini adalah tempat cerita kita dimulai tentang apa itu TLBMC dan implementasinya. Kita juga akan menilai manfaat dan kekurangan yang mungkin ditemukan Devan atau siapa pun lainnya saat menerapkannya.
Memiliki pemahaman yang baik tentang konsep Triple Layer Business Model Canvas.
Istilah TLBMC mungkin terdengar rumit bagi beberapa orang. Namun, ide ini sebenarnya cukup mudah dipahami jika dibahas dalam bahasa sehari-hari. Bisnis Model Canvas (BMC) tradisional dimodifikasi menjadi Triple Layer Business Model Canvas (TLBMC). Berbeda dengan versi awalnya, yang diperkenalkan oleh Osterwalder dan Pigneur (2010), versi Triple Layer menambah dua "lapisan" tambahan, yaitu lingkup lingkungan (environmental layer) dan lingkup sosial (social layer).
Pertama, elemen seperti Value Proposition, Customer Segments, Key Resources, Revenue Streams, dan Cost Structure masih ada di lapisan ekonomi (Osterwalder dan Pigneur, 2010). Ini adalah fondasi utama yang sering diajarkan di kursus kewirausahaan. Lapisan ini membantu Devan, pemilik kafe, menjawab pertanyaan, "Siapa target pelangganku?" Nilai apa yang saya tawarkan kepada mereka? Bagaimana penghasilan saya?
Kedua, layer lingkungan berfokus pada daur hidup produk dan dampak yang ditimbulkannya pada alam. Di sini, TLBMC berbicara tentang pemilihan bahan baku, proses produksi, distribusi, bagaimana produk digunakan, dan end-of-life (Joyce dan Paquin, 2016). Kafe Devan mungkin mempertimbangkan lapisan ini sebagai pertanyaan: apakah cangkir kertas yang digunakan mudah terurai? Apakah petani lokal mengadopsi pendekatan berkelanjutan saat membeli biji kopi? Berapa banyak daya yang dihabiskan oleh mesin espresso?
Ketiga, layer sosial terdiri dari pemangku kepentingan seperti pemegang saham, komunitas sekitar, dan karyawan. Ini mencakup upaya pemberdayaan, pengaturan, dan dampak sosial yang dihasilkan (Joyce dan Paquin, 2016). Devan mungkin bertanya-tanya, "Apa yang bisa kulakukan untuk mendukung ekonomi lokal?" Bagaimana cara meningkatkan kualitas hidup karyawan kafe?
Gambaran sederhana ini memudahkan pemahaman kita: "Apakah harga kopi yang kubayar ke petani sudah adil?" Dalam praktiknya, TLBMC memerlukan pengumpulan data, analisis, dan kolaborasi lintas bidang yang lebih besar. Namun, Devan menyatakan, "Daripada bisnis hanya bicara soal profit, lebih menantang kalau ada visi menjaga lingkungan dan membantu sesama." Karena itu, ia mulai mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana gagasan TLBMC dapat dimasukkan ke dalam rencana strategisnya.
BMC konvensional bisa kita gambarkan secara simple melalui kisah si Devan, Kafe-nya dan langkah awal menerapkan Layer Ekonomi. Ia mengidentifikasi demografi pelanggan, termasuk siswa, karyawan kantoran, dan penggemar kopi lokal. "Kopi otentik dari petani lokal dengan rasa khas" adalah definisi Value Proposition. Selanjutnya, sumber pendapatannya berasal dari penjualan kopi seduh di tempat dan biji kopi kemasan. Struktur harganya? Ada biaya untuk listrik, air, internet, sewa tempat, dan gaji karyawan. Meskipun ini sudah biasa bagi Devan, memetakan ini secara tertulis membantunya memahami area yang masih bisa dioptimalkan.
Karena menyangkut arus kas, margin, dan profit, lapisan ekonomi adalah area yang paling familiar bagi banyak pemilik bisnis. Fokusnya pasti tentang uang karena beberapa pihak melihatnya sebagai "bisnis ya bisnis." Metode ini jelas masuk akal. Bagaimanapun, sebuah usaha tidak akan bertahan lama jika tidak memiliki kekayaan yang baik.
Ini merupakan bagian "pro" dari TLBMC. Kita tidak perlu keluar dari logika bisnis konvensional. Malahan, kita dapat memaksimalkan rancangan keuangan sambil mempersiapkan ekspansi ke bidang sosial dan lingkungan. Namun, beberapa orang berpendapat bahwa menerapkan TLBMC akan meningkatkan biaya operasional, terutama untuk bisnis kecil. Modal kami terbatas karena bisnis kami masih baru. Pertanyaan sering muncul, "Apakah kita dapat mengurus hal-hal lingkungan dan sosial sekaligus?"
Layer Lingkungan: Dari Kopi ke Keberlanjutan
Banyak perusahaan besar telah memasuki sektor lingkungan secara diam-diam, meskipun ini belum cukup dikenal. Nespresso adalah salah satu contoh yang sering dikutip. Untuk menghasilkan pertanian yang lebih ramah lingkungan, merek ini berusaha untuk membuat mekanisme daur ulang untuk kapsul aluminiumnya dan bekerja sama dengan petani kopi (Joyce dan Paquin, 2016). Mungkin lebih mudah bagi perusahaan mapan untuk memulai program semacam ini.
Si Devan berpikir, "Kalau Nespresso saja bisa, kenapa kafe kecilku tidak?" Dia juga mulai mengamati jejak lingkungan kafenya. Devan menyadari bahwa ada banyak peluang untuk meningkatkan praktik bisnis, mulai dari penggunaan listrik dan air hingga limbah kertas dari struk pembelian. Devan bahkan bisa mengumpulkan ampas kopi dan membagikannya kepada orang-orang di sekitarnya sebagai pupuk organik.
Ini, bagaimanapun, menunjukkan sisi "kontra". Ternyata mengumpulkan data lingkungan tidak semudah menyusun laporan keuangan. Devan harus mengukurnya secara manual jika tidak ada teknologi. Berapa kilowatt jam (kWh) energi yang digunakan oleh kafe setiap minggu? Berapa banyak sedotan plastik yang dibuang setiap hari? Bagaimana cara penyuplai biji kopi menjaga standar penanaman? Semua masalah ini membutuhkan waktu dan uang.
Namun, beberapa penelitian menunjukkan keuntungan jangka panjang. Pasar yang lebih sadar lingkungan biasanya akan membayar harga lebih tinggi jika kafe si Devan menyebarkan gagasan peduli lingkungan. Menurut Nielsen (2024), 73% pelanggan di seluruh dunia lebih cenderung setia pada merek yang mengutamakan keberlanjutan. Mempraktikkan daur ulang atau efisiensi energi, di sisi lain, dapat mengurangi biaya produksi dalam jangka panjang. Menyeimbangkan biaya awal penerapan praktik ramah lingkungan dengan hasil yang belum tentu langsung terlihat adalah tantangan.
Layer Sosial: Masyarakat, Pekerja, dan Makna di Balik Secangkir Kopi
TLBMC berkonsentrasi pada pemangku kepentingan, termasuk komunitas lokal, karyawan, dan budaya setempat, ketika berbicara tentang aspek sosial (Joyce dan Paquin, 2016). Ini berarti melihat siapa saja yang bergantung pada kafe, menurut Devan. Tidak hanya barista, pelayan, pemasok, dan penduduk sekitar yang mungkin merasa terganggu oleh polusi suara atau ketersediaan tempat parkir.
Sisi Positif: Lapisan sosial biasanya meningkatkan loyalitas, moral karyawan, dan reputasi perusahaan. Misalnya, ketika Devan membantu remaja yang putus sekolah belajar menjadi barista secara gratis, ia tidak hanya membantu mereka memperoleh keterampilan, tetapi juga membantu mereka memperoleh tenaga kerja potensial di masa depan.
Namun, ketidaksepakatan muncul ketika konflik kepentingan muncul. Misalnya, kafe memiliki jam kerja dan shift yang ditetapkan. Tidak semua individu dapat difasilitasi. Ada kemungkinan bahwa budaya organisasi tidak siap untuk menerima pemberdayaan atau keberagaman dalam cara kerja. Pengeluaran juga dapat meningkat karena pembayaran upah yang lebih adil. Ini harus dipertimbangkan dengan teliti jika bisnis kita masih kecil.
Meskipun demikian, ada banyak contoh keberhasilan di Indonesia dalam penerapan model bisnis dan lapisan sosial. Salah satu UMKM kecap di Majalengka melibatkan penyandang disabilitas dalam proses produksinya dan menggunakan sisa limbah untuk pakan ternak. Langkah kecil semacam ini memiliki dampak sosial yang signifikan dan bahkan meningkatkan reputasi merek.
Integrasi Tiga Lapisan (layer): Keniscayaan atau Keinginan Terlalu Besar?
Devan menemukan setelah membaca setiap bagian TLBMC bahwa integrasi ketiga lapisan; ekonomi, lingkungan, dan sosial; harus dilakukan secara selaras. Membuat kue lapis berarti tiap adonan harus memiliki rasa yang sama sebelum digabungkan, karena jika satu rasa terlalu mendominasi, kue akan menjadi enek. Jika bisnis hanya memiliki kekuatan ekonomi tetapi mengabaikan kerusakan lingkungan, risikonya bisa tinggi di masa depan. Sebaliknya, jika bisnis sangat peduli dengan lingkungan tetapi lupa untuk mengatur arus kasnya dengan benar, bisnis itu mungkin tidak bertahan lama.
Koherensi horizontal (keselarasan dalam satu lapisan) dan vertikal (keselarasan antarlapisan) sangat penting, menurut penelitian Joyce dan Paquin (2016). Contohnya, jika kepercayaan pelanggan diperkuat oleh bahan baku kopi yang ramah lingkungan (lapisan lingkungan), maka akan ada peluang untuk meningkatkan pendapatan (lapisan ekonomi). Namun, seseorang harus berhati-hati dalam mengelola data, komunikasi, dan budaya organisasi untuk memastikan setiap keputusan berdampak positif di ketiga level.
Proses Berkesinambungan, Bukan Destinasi Sekali Jalan
TLBMC bukan sekadar template yang dipenuhi dan dilupakan. Ini membutuhkan pembaruan berkala. Bisnis selalu berubah sesuai dengan pasar, kebijakan pemerintah, dan keadaan sosial. Keberlanjutan adalah seperti maraton, menurut Digital CSIC (n.d.). Kita tidak boleh berlari dengan kecepatan tinggi di awal lalu berhenti di tengah jalan. Rencana jangka panjang memerlukan pengukuran dampak secara teratur untuk mengetahui tindakan mana yang efektif sesuai skenario dan yang belum.
Devan, misalnya, berencana untuk mengisi versi "awal" TLBMC untuk kafenya saat ini. Dia kemudian akan melakukan evaluasi setiap enam bulan sekali. Mungkin setelah tiga bulan, karena mengganti lampu dengan LED, penggunaan listrik berkurang. Di enam bulan berikutnya, Devan mungkin dapat bekerja sama dengan komunitas daur ulang untuk menggunakan cangkir kertas. Ini tidak akan terjadi dalam satu malam.
Menimbang Risiko dan Kesempatan; TLBMC menghadirkan banyak tantangan dan risiko. Mulai dari resistensi internal (misalnya, mitra atau karyawan yang tidak mau repot) hingga biaya awal yang besar. Mabruri (2023) menyatakan bahwa budaya organisasi yang tidak mau berubah adalah penghalang terbesar. Selain itu, karena ketiga lapisan sama-sama penting, pengusaha mungkin bingung bagaimana memilih mana yang harus diprioritaskan.
Kita menemukan banyak manfaat dari sisi peluang. Mengadopsi praktik sosial dan lingkungan yang ramah lingkungan memiliki potensi keuntungan yang lebih besar selain mendekatkan perusahaan ke pelanggan kontemporer yang semakin sadar akan masalah keberlanjutan (Nielsen, 2024). Selain itu, strategi ini membuka banyak peluang untuk menciptakan barang atau jasa baru. Sebagai contoh, Devan mungkin tertarik untuk membuat kampanye "Bawa Tumbler Sendiri" dan membuat rencana untuk memberikan potongan harga kepada pelanggan yang membawa gelas pribadi mereka. Dalam hal ini, kreativitas semakin terpacu.
Mewujudkan Bisnis yang Membumi
Kisah Devan dan Inspirasi untuk kita semua. Pada akhirnya, Devan lebih dari sekedar berbicara. Ia mulai dengan tindakan kecil, seperti:
Audit internal sederhana; mencatat penggunaan listrik, air, dan sampah setiap minggu.
Meningkatkan kerjasama dengan petani kopi setempat yang menanam kopi secara organik, meskipun harganya sedikit lebih mahal.
Mengikutsertakan dua barista junior dalam pelatihan manajemen kafe "hijau" untuk mengurangi penggunaan kertas struk.
Mencoba sistem pemesanan online berbasis aplikasi untuk mengurangi jumlah kertas struk yang digunakan.
Hal ini mungkin belum sempurna. Masih ada banyak informasi yang harus dikumpulkan. Namun, Devan sudah bergerak maju. Ia menyadari bahwa jika bisnis kecil seperti kafenya dapat mulai menerapkan TLBMC, bayangkan apa yang bisa dilakukan oleh perusahaan menengah atau besar dengan sumber daya yang lebih banyak.
Bagaimana selanjutnya?
Menciptakan Cita Rasa Bisnis yang Menyeluruh Kisah Devan mungkin menjadi inspirasi bagi banyak pengusaha yang bingung tentang masalah keberlanjutan. Dengan tiga lapisan yang saling terkait, TLBMC memberikan kerangka berpikir yang memungkinkan kita untuk tidak hanya berkonsentrasi pada keuntungan, tetapi juga menunjukkan kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan. Meskipun ada tantangan yang ada dan nyata, seperti biaya dan kemajuan teknologi, peluang masa depan yang ditawarkan juga sangat menggoda.
Bisnis yang abai mungkin tertinggal di dunia di mana kesadaran publik tentang masalah sosial dan lingkungan terus meningkat. Meskipun demikian, orang-orang yang mengadopsi pendekatan holistik lebih mungkin mendapat kepercayaan dan kesetiaan. Memang sulit, tetapi bukankah proses yang panjang dari biji hingga proses sangrai hingga tangan barista yang mahir yang memberikan rasa kopi yang istimewa?
Perjalanan menuju bisnis yang berkelanjutan juga sama, meskipun sulit, namun hasilnya bisa memberi makna besar bagi diri sendiri, pelanggan, dan tentu saja planet kita. (clint perdana)
Referensi:
Digital CSIC (n.d.) Sustainable Triple-Layered Business Model Canvas. [Online].
Joyce, A. and Paquin, R.L. (2016) ‘The triple layered business model canvas: A tool to design more sustainable business models’, Journal of Cleaner Production, 135, pp. 1474–1486. doi: 10.1016/j.jclepro.2016.06.067.
Mabruri, R. (2023) ‘Analisis strategi bisnis menggunakan Triple Layer Business Model Canvas (TLBMC) pada perusahaan garmen Inti Mimomi di Klaten’, Jurnal Manajemen Indonesia, 15(2), pp. 45–60.
Nielsen (2024) Sustainability Survey. [Online].
Osterwalder, A. and Pigneur, Y. (2010) Business Model Generation: A Handbook for Visionaries, Game Changers, and Challengers. Hoboken, NJ: Wiley.
Repository Telkom University (2022) Perancangan model bisnis dengan pendekatan Triple Layered Business Model Canvas untuk UMKM Kecap Segi Tiga Majalengka. [Online].